Lebih Baik Telanjur Mengeluarkan Zakat
daripada Telanjur Memakan Zakat

Beberapa tahun silam, seorang karyawati pegawai negeri golongan dua datang kepada seorang ustadzah. Ia menyampaikan maksud tujuannya untuk mengeluarkan zakat dari gaji yang diterima setiap bulan. Karena dalam keyakinannya dengan mengeluarkan zakat ia dapat menjalani hidup dengan jujur dan hati yang nyaman, tenteram, tanpa penyesalan dan tanpa kegelisahan.

“Apakah gaji wajib dikeluarkan zakatnya?” tanya dia kepada ustadzah itu. “Kenapa?” Jawab ustadzah kembali bertanya. “Apakah Anda akan mengeluarkan zakat atas gaji Anda?”. Dalam hati ustadzah bertanya, berapakah gaji pegawai golongan dua yang hanya tamat sekolah menengah ? Apa gerangan yang menyebabkannya ingin mengeluarkan zakat gajinya yang kecil itu ? Sedangkan, menurut pengakuannya, ia tidak memiliki penghasilan lain.

“Setiap menerima gaji terbanyang oleh saya orang tua saya yang hidup di kampung sebagai petani. Setiap kali panen, beliau selalu mengeluarkan zakatnya. Padahal orang tua saya tidak kaya. Sawahnya hanya beberapa petak saja. Hasilnya tidak cukup untuk dimakan sekeluarga sampai panen berikutnya. Tetapi itu dapat dicukupi dengan hasil palawija yang ditanam di antara musim panen satu dengan musim panen lainnya,” ungkap karyawan itu menceritakan keadaan keluarganya di kampung halaman.

“Berapa gajimu?” sang ustadzah kembali bertanya. “Gaji saya kurang dari lima ratus ribu (waktu itu). Akan tetapi bila gaji saya dibelikan padi, barangkali dalam waktu dua atau tiga bulan gaji telah dapat senishab. Padahal orang tua saya mulai dari turun ke sawah sampai panen, yang memakan waktu enam bulan barulah memperoleh senishab padi itu. Itulah yang menyebabkan saya merasa takut punya hutang jika tidak mengeluarkan zakat atas gaji yang saya terima tiap bulan,” ujarnya.

Ia berpendapat, lebih baik telanjur menunaikan zakat, daripada telanjur memakan zakat. Bila telanjur memakan atau tidak mengeluarkan zakat, bila kelak ternyata tergolong orang yang sudah wajib mengeluarkan zakat, tentu yang tidak dikeluarkan selama ini menjadi hutang. Jika terus menerus tidak dikeluarkan maka jumlahnya akan terus menumpuk. Bila akhirnya sanggup membayar, tentunya bersyukur. Tapi bila akhirnya tidak sanggup, ia berkeyakinan hutang tersebut akan ditagih Allah SWT di akhirat kelak.

”Kalau begitu, bila mau mengeluarkan zakat gaji, lakukanlah,” jawab ustadzah. ”Tidak perlu menunggu keputusan ulama tentang wajib atau tidaknya. Yang penting hatimu tenang. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rezeki lebih banyak lagi,” ujar ustadzah sembari mendoakan karyawati tadi.

Setelah tiga tahun berselang, karyawati itu kembali datang kepada ustadzah. Ia bercerita selama tiga tahun itu kewajiban zakat atas gajinya sudah dikeluarkan secara rutin. Di samping katanya, sisa gajinya ia tabung. Ketika mencapai jumlah tertentu, tabungan itu dibelikan emas murni. Tidak berapa lama kemudian harga emas melonjak tinggi. Hampir dua kali lipat harga semula.

”Jika emas yang saya simpan itu dijual sekarang, harganya cukup untuk biaya naik haji tahun ini,” katanya. ”Jadi kamu mau naik haji?” tanya ustadzah keheranan. ”Ya, bu” jawabnya. ”Sudah lama saya berkeinginan untuk menunaikan rukun Islam kelima itu. Mula-mula saya tidak yakin keinginan itu akan terpenuhi karena gaji saya tergolong kecil. Apalagi tidak ada yang membantu saya. Rupanya Allah mendengar do’a saya dan akhirnya dikabulkan,” ujar dia.

Teman-temannya, orang tuanya dan karib kerabatnya, terheran-heran mendengar ia akan berangkat ke Tanah Suci Makkah. Menunaikan ibadah haji dengan biaya sendiri, tidak ada orang yang menyumbang atau membantunya. Hanya Allah yang memberi jalan yang baik dan halal tanpa diperhitungkan.

Dalam hati ustadzah berkata, benar-benar si karyawati yang berusaha memenuhi kewajibannya kepada Allah, akhirnya diberi karunia tanpa diketahui dan diperhitungkannya, sehingga gajinya yang sedikit itu menjadi berkah. Cukup untuk kehidupan sederhana dan dapat pula disisakan untuk ditabung. Semua itu tentu berkat zakat yang dikeluarkannya. naflah