Tag

, , , , ,

‘Mudun Lemah’, Tradisi Mengajari Anak Agar Membumi

Siang itu anak-anak sudah berkumpul. Sambil menunggu lainnya, di antara mereka ada yang bermain bekerjaran. Ada juga yang sekedar duduk-duduk mengobrol. Ada yang terus lengket dan bergelayut di pangkuan ibunya. Semuanya riang gembira bersuka ria. Karena siang yang bertepatan dengan libur nasional Hari Nyepi itu puluhan anak akan mengikuti acara Mudun Lemah (Tedak Siten) anak ketiga saya Nadzifah Nurul Atqiya’.

Ini baru pertama kali saya ikut langsung dan mendoakan di acara Tedak Siten, meskipun saya sudah punya 3 orang anak, tapi baru kali ini saya menyertai. Hingga istri saya mencandai saya begini, “Ini baru anak bapaknya. Ditungguin dari mulai lahir, puputan hingga mudun lemah,” sindirnya. Semua yang hadir sontak tertawa.

Acara Mudun Lemah, atau yang dalam tradisi Jawa bernama ‘Tedak Siten’ adalah tradisi turun temurun yang masih berjalan dari zaman dahulu hingga sekarang. Mudun Lemah biasanya dilakukan ketika anak berumur 7 lapan (baca : pitung lapan), yaitu saat anak berusia sekitar 8 bulan. Karena pada saat itu anak sudah mulai belajar menapakkan kakinya ke tanah/bumi. Ini sekaligus mengajarkan anak agar hati-hati dalam menjalani kehidupan di bumi. Banyak rintangan, cobaan, godaan yang nanti akan dihadapi.

Tradisi ini juga dimaksudkan mendidik anak agar tetap membumi dan memasyarakat. Tidak boleh sombong, egois apalagi menang sendiri. Kesetaraan di masyarakat harus dijunjung tinggi. Cita-cita kita harus digantungkan setinggi-tingginya di langit, namun hatinya harus tetap membumi. Hati kita ada bersama orang-orang banyak. Sehingga keberadaannya dapat diterima lainnya.

Anak saya waktu umur 8 bulan sudah belajar seperti itu, namun karena ingin supaya bapaknya bisa ikut, maka sengaja diundur pada usia 8 lapan (baca : wolung lapan) atau sekitar umur 9 bulan, bertepatan dengan hari pasaran lahirnya. Ini tidak jadi masalah yang penting jangan sampai tahapan perkembangan anak tidak dilakukan tasyakuran. Menurut saya acara ini sangat penting karena semua tahapan perkembangan anak adalah bagian dari nikmat keluarga yang harus disyukuri. Karena ada juga anak yang terlambat jauh perkembangannya, sehingga menjadikan keluarganya was-was, khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Dalam tradisi Mudun Lemah, ada tata cara dan perangkat yang harus disiapkan. Namun di beberapa daerah tidak selamanya perangkat dan tata cara itu diikuti. Yang penting perangkat-perangkat yang pokok dan bernilai shadaqah itulah yang disiapkan. Seperti yang kami siapkan pada siang itu. Cukup dengan kurungan ayam yang dihias dengan kertas craft, ketan (untuk diduduki anak), jadah pasar, bancaan (nasi bungkus diberi ikan asin, urap/kuluban, tahu goreng dan telur goreng), dan perabotan yang diletakkan di kanan kiri anak, seperti ; uang, buku, pensil dan mainan anak, itu sudah cukup.

Setelah anak-anak semua berkumpul, dimulailah acara Mudun Lemah. Anak-anak duduk melingkari di kanan kiri kurungan ayam. Saya memulai dengan menyampaikan hajat dan niat acara. Acara siang itu, bukan hanya Mudun Lemah tapi sekalian banca’an untuk anak pertama saya, Fieka Faidun Najih, yang kebetulan hari pasaran lahir keduanya sama. Jadi acara Mudun Lemah diniatkan juga untuk selamatan. Kata orang, ngiras-ngirus.

Selesai berdoa, anak saya dimasukkan ke dalam kurungan ayam. Ia duduk di atas ketan putih. Di sekitarnya diberi ubo rampe; uang, pensil, buku dan mainan anak-anak. Diiringi shalawat semuanya ikut riang gembira. Saat itulah uang receh yang dicampur dengan beras kuning ditebar. Anak-anak berebut mencari uang receh yang dilempar ke atas dan jatuh ke sekitar mereka. Meski beras kuning mengotori badan mereka, tapi justru senang. Ramai dan mengasikkan. Orang tua yang menyertai anaknya juga ikut berebut uang recehan. Bagi yang beruntung bisa mendapat banyak uang, bagi yang tidak beruntung, ia dapat sedikit. Bahkan ada yang tidak kebagihan sama sekali. Cara ini bukan tanpa dasar. Orang tua kita dalam membuat suatu tradisi pasti berlandaskan filosofi yang tinggi. Uang receh ditebar sama seperti rizki yang ditebar Allah di muka bumi. Manusia diperintah untuk berikhtiar mencarinya. Bagi yang hanya duduk diam tidak bekerja maka dia tidak akan mendapatkan rizki. Sebaliknya, bagi yang berusaha keras maka ia akan mendapatkannya.

Belum sempat anak saya yang Mudun Lemah memilih apa-apa yang ada di sampingnya, karena mendengar keriuhan anak-anak berebut uang, akhirnya anak saya nangis. Berontak minta keluar dari kurungan ayam. Mencoba untuk ditenangkan agar mau memilih, tapi dia terus berontak minta keluar. Akhirnya terpaksa dikeluarkan dari kurungan ayam.

Nasi banca’an yang sudah disiapkan, dibagikan kepada semua yang hadir. Ada yang langsung di makan di tempat, ada juga yang dibawa pulang. Sambil makan nasi, mereka bercengkrama menunjukkan hasil usaha berebut uang. “Kamu dapat berapa?. Saya dapat dua ribu lima ratus. Saya dapat seribu, sahut lainnya”. Anak-anak yang tidak datang tetap mendapat bancaan itu.

Sebelum pulang, jadah pasar yang sudah disiapkan dan di dalamnya terdapat uang seribu rupiah juga dibagikan kepada mereka. Wajah-wajah gembira dan senang mewarnai rona wajah mereka. Shadaqah yang dibungkus dengan tradisi Tedak Siten, menjadi sarana perekat antar anak. Sekaligus niat menjalankan ajaran Allah berupa shadaqah. Tentu dengan harapan semoga dengan tradisi Tedak Siten/Mudun Lemah, keberkahan umur, kesehatan, rizki akan terlimpah kepada si anak, khususnya, dan kepada keluarga pada umumnya. Amin.